no healthy upstream
Tante Anne
Cerita ini terjadi saat aku masih berusia 16 tahun, dan masih bersekolah di salah satu SMA di Medan. Namaku Chris, aku peranakan Canada-Chinese. Papaku berasal dari Canada, dan Mamaku Chinese Indonesia. Kata teman-teman wajahku sih lumayan ganteng, ehmm. Tinggiku 180 cm, nggak begitu tinggi dibandingkan dengan Papa yang 185 cm. Aku lahir di Canada, tapi sewaktu umur 10 tahun, Papa ditugaskan ke Medan, Indonesia. Jadi aku juga ikut, dan bersekolah di sana. Mula-mula terasa asing juga kota ini bagiku. Tapi lama kelamaan aku juga dapat terbiasa. Terus terang, pemikiranku lebih condong kepada pemikiran-pemikiran Timur, mungkin karena didikan Mama yang keras. Biarpun di negara-negara Barat sudah biasa terjadi hubungan seks remaja, namun aku belum pernah melakukannya dengan pacarku, well… at least pada saat itu.
Hari kedua di Jakarta, aku minta diantar oleh supir ke rumah Tante Anne.        Rumahnya terletak di salah satu kompleks perumahan di Jakarta Selatan.        Sebelumnya Mama sudah menelepon dan memberitahukan kepadanya bahwa aku        akan datang pada hari itu.
“Hai… wahh sudah besar sekali kamu sekarang yah Chris… sudah nggak        tanda lagi Tante sama kamu sekarang… hahaha”, seingatku kira-kira        begitulah katanya sewaktu pertama kali melihatku setelah sekian tahun        nggak jumpa. Wajahnya masih saja sama seperti yang dulu, seakan dia tidak        bertambah tua sedikitpun. “Oh yah… tuh supirnya disuruh pulang saja        Chris… ntar kamu bawa saja mobil Tante kalau mau pulang”, aku pun        mengiyakan, dan menyuruh pulang supirnya.
“Wah… besar sekali rumahnya yah Tante”, kataku sewaktu kami memasuki        ruang tamu. Aku dengar dari Mama sih, katanya suaminya Tante Anne ini anak        salah seorang konglomerat Jakarta, jadi nggak heran kalau rumahnya semewah        ini. Setelah itu kami ngobrol-ngobrol, dia menanyakan keadaan Mama, Papa        dan kakek. Tante Anne juga sudah lama tidak bertemu dengan Mama. Lumayan        lama kami ngobrol, setelah itu dia mengajakku untuk makan malam.
“Makan dulu yuk Chris… tuh sudah disiapin makanannya sama si Ning”,        katanya menunjuk ke pembantunya yang sedang menghidangkan makanan di meja        makan.
“Kita nggak nunggu Om Joe?” aku menanyakan suaminya.
“Oh… nggak usah, Om mu nggak pulang malam ini katanya”,
“Oh… ok deh”, kataku sambil beranjak ke ruang makan. Rumah sebesar ini        cuma dihuni sendirian dengan pembantunya. Berani juga Tanteku ini.
“Kamu berani pulang entar Chris? sudah malem loh ini”, katanya sambil        melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan jam 7 lewat 30 menit.
“Ah berani kok Tante…”
“Hmm… mending kamu tidur di sini saja deh malem ini… tuh ada kamar        kosong di atas.”
“Umm… iyah deh… ntar aku telepon ke Kakek kalau gitu”, dalam hati, aku        mengira bahwa Tanteku ini menyuruhku menginap karena dia takut sendirian        di rumah, sama sekali tidak ada pikiran negatif dalam otakku sewaktu aku        mengiyakan tawarannya.
Sehabis makan, aku pun menelepon ke rumah kakek, dan memberitahu bahwa        hari ini aku menginap di rumah Tante Anne.
“Oh iyah… kalau kamu mau mandi air panas, pakai saja kamar mandi Tante.        Ntar kamu pakai saja bajunya Om Joe. Yuk sini!”
“He… eh”, aku mengangguk sambil mengikutinya. Kamar mandi yang dimaksud        terletak di dalam kamarnya. Kamarnya benar-benar mewah dan besar. Dengan        tempat tidur ukuran double di tengah-tengah ruangan, mini theatre set, dan        sebuah kamar mandi di sudut ruangan.
“Nih… coba… bisa pakai nggak kamu?” dia memberikan T-shirt dan celana        pendek kepadaku.
“Bisa kayaknya”, aku pun mengambil pakaian itu dan membawanya ke kamar        mandi. Sehabis dari kamar mandi, aku sempat sedikit kaget melihat Tante        Anne. Dia mengenakan baju tidur tipis, tidur tengkurap di atas tempat        tidur. Kelihatan dengan jelas celana dalamnya, tapi aku tidak melihat tali        BH di punggungnya. Terangsang juga aku melihat pemandangan seperti itu.        Kelihatannya ia tertidur saat menonton TV. TV-nya masih menyala. Aku        berjalan ke arah TV, bermaksud mematikannya. Melihat adegan panas yang        sedang berlangsung di TV, mendadak aku terdiam pas di depan TV. Kulihat ke        belakang, Tante Anne masih tidur. Aku berdiri menonton dulu, sekedar        iseng. 5 menit lagi ah baru kumatikan, begitu pikiranku saat itu.
“Hey…” saat aku sedang asyik menonton, tiba-tiba terdengar teguran halus        Tante Anne, diikuti oleh tawa tertahannya. Aku benar-benar malu sekali        waktu itu. Aku berbalik ke belakang sambil tersenyum malu-malu. Waktu aku        berbalik, kulihat Tante Anne sudah duduk tegak di atas tempat tidur.        Samar-samar terlihat puting susunya dari balik baju tidurnya yang tipis.
“Kirain Tante sudah tidur… hehe”, kataku asal-asalan sambil berjalan        hendak keluar dari kamar.
“Chris… bisa tolong pijitin badan Tante? Pegel nih semua”, terdengar        suara helaan nafas panjang, dan suara kain jatuh ke lantai. Saat aku        berbalik hendak menjawab, kulihat Tante Anne sudah kembali tidur tengkurap        di tempat tidur, tapi kali ini tanpa baju tidur, satu-satunya yang masih        dikenakannya adalah celana dalamnya.
“Ya…” hanya itu saja yang bisa keluar dari mulutku. Aku pun berjalan ke        arah Tante Anne. Sedikit canggung, kuletakkan tanganku di atas bahunya.        “Engghh…” terdengar dia mengerang perlahan.
“Om Joe kapan pulangnya Tante?” kuatir juga aku ketahuan oleh suaminya.
“Emm… mungkin minggu depan… nggak tau deh… kalau Om mu sih… jarang        di rumah. Mungkin seminggu pulang sekali”, dalam hatiku merasa kasihan        juga kepada Tante Anne. Pantas saja dia merasa kesepian. “Fhhuuuhh…”        kembali terdengar helaan nafas panjang. “Kamu sudah punya pacar Chris?”        tanyanya memecah keheningan.
“Yah… di Medan.”
“Hehehe… cantik nggak Chris?” Tante Anne memang dari dulu senang        bercanda. Sangat berbeda dengan ibuku yang kadang bersikap agak tertutup,        Tante Anne adalah penganut kebebasan Barat. Aku hanya tersenyum saja        menjawab pertanyaannya. “Turun dikit Chris!” aku pun menurunkan pijatanku        dari bahu ke punggungnya. “Kamu duduk saja di atas pantat Tante… supaya        bisa lebih kuat pijitannya.”
Aku yang semula mengambil posisi duduk di sampingnya, sekarang duduk di        atas pantatnya. “Unghh… berat kamu”, mendengus tertahan dia waktu        kududuk di atasnya.
“Hehehe… tapi katanya suruh duduk di sini”, cuek saja aku melanjutkan        pijatanku. Penisku sudah terasa menegang sekali, sesekali kutekan        kuat-kuat penisku ke pantat Tante Anne. Walaupun aku masih memakai celana        lengkap, namun sudah terasa nikmat dan hangat sewaktu penisku kutekan ke        pantatnya.
“Iiihh… nakal ya… bilangin Mama kamu lho”, katanya sewaktu merasakan        penisku menekan-nekan pantatnya.
“Sudah belom Tante? sudah cape nih”, kataku setelah beberapa menit memijat        punggungnya.
“Iyah… kamu berdiri dulu deh… Tante mau balik”, aku berdiri, dan Tante        Anne sekarang berbalik posisi. Sekarang aku bisa melihat wajahnya yang        cantik dengan jelas, payudaranya yang masih kencang itu berdiri tegak di        hadapanku. Puting susunya yang merah kecoklatan terlihat begitu menantang.        Aku sampai terbengong beberapa detik dibuatnya.
“Hey… pijit bagian depan dong sekarang”, katanya.
Aku duduk di atas pahanya, kuremas dengan lembut kedua payudaranya. Lalu        kupuntir-puntir puting susunya dengan jari-jariku. “Ihh… geli…        hihihihi…” dia cekikikan. Aku benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan        nafsuku lagi.
Sekarang ini yang ada dalam otakku hanyalah bagaimana memuaskan Tante Anne, memberinya kepuasan yang selama ini jarang ia dapatkan dari suaminya. Rasa kasihan akan Tante Anne yang telah lama merindukan kehangatan laki-laki bercampur dengan nafsuku sendiri yang sudah menggelora. Aku menarik celana dalamnya dengan agak kasar. Kulihat dia hanya diam saja sambil memejamkan matanya pasrah. Kuakui inilah pertama kalinya aku melihat wanita telanjang secara nyata. Tapi agaknya aku tidak begitu canggung, sepertinya aku melakukan semuanya dengan begitu alamiah. Tante Anne membuka lebar kedua pahanya begitu celana dalamnya kulepas. Kulihat dengan jelas vaginanya dengan bulu-bulu halus yang dicukur dengan rapi membentuk segitiga di sekitarnya. “Sudah sering beginian yah kamu Chris?” tanyanya heran juga melihat aku begitu mantap.
“Ehh… nggak kok… baru sekali Tante”, nafasku sudah memburu, kata-kata        pun sudah sulit kuucapkan dengan tenang. Kulihat nafas Tante Anne juga        sudah mulai memburu, berkali-kali ia menarik nafas panjang untuk        menenangkan diri. “Jilatin dong Chris!” katanya memelas. Mulanya aku        ragu-ragu juga, tapi kudekatkan juga kepalaku ke vaginanya. Tidak ada bau        tidak enak sama sekali, Tante Anne rajin menjaga kebersihan vaginanya aku        kira. Kujulurkan lidahku menjilati dari bawah menuju ke pusar. Beberapa        menit aku bermain-main dengan vaginanya. Tante Anne hanya bisa mengerang        dan menggelinjang kecil menahan nikmat. Kulihat ia meremas sendiri buah        dadanya dan memuntir-muntir sendiri puting susunya. Aku berdiri sebentar,        melepaskan semua pakaianku. Bengong dia melihat penisku yang 18 cm itu.        Aku cuma tersenyum kepadanya, dan melanjutkan menjilati vaginanya.        Beberapa saat kemudian ia meronta dengan kuat.
“aahh… ohh God… aargghh…” bagaikan gila, dia menjepit kepalaku        dengan pahanya, lalu menekan kepalaku supaya menempel lebih kuat lagi ke        vaginanya dengan dua tangannya. Aku susah bernafas dibuatnya.
“Lagi… arghh… clitorisnya Chriss… ssshh… yah… yah… lagi…        oooohh…” semakin menggila lagi dia ketika aku mengulum clitorisnya, dan        memainkannya dengan lidahku di dalam mulut. Aku memasukkan lidahku        sedalam-dalamnya ke dalam lubang vaginanya. Bau cairan kewanitaan semakin        keras tercium. vaginanya benar-benar sudah basah. Tiba-tiba dia menjambak        rambutku dengan kuat, dan menggerakkan kepalaku naik turun di vaginanya        dengan cepat dan kasar. Lalu ia menegang, dan tenang. Saat itu juga aku        merasa cairan hangat semakin banyak mengalir keluar dari vaginanya. Aku        jilati semuanya.
“Ohh… God… bener-benar hebat kamu Chris… lemas Tante… aahh…        nggak kuat lagi deh untuk berdiri… shitt… sudah lama nggak begini”,        dia terbujur lemas setelah 1/2 jam yang melelahkan itu. Aku cuma        tersenyum. Perlahan kutarik kedua kakinya ke tepi tempat tidur, kubuka        pahanya selebar-lebarnya dan kujatuhkan kakinya ke lantai. Vaginanya        sekarang terbuka lebar. Nampaknya ia masih terbayang-bayang atas peristiwa        tadi dan belum sadar atas apa yang kulakukan sekarang padanya. Begitu ia        sadar penisku sudah menempel di bibir vaginanya.
“Ohh…” ia cuma bisa menjerit tertahan. Lalu ia pura-pura meronta tidak        mau. Aku juga tidak tahu bagaimana cara memasukkan penisku ke dalam        vaginanya. Aku sering lihat di film-film, dan mereka melakukannya dengan        mudah. Tapi ini sungguh berbeda. Lubangnya sangat kecil, mana mungkin bisa        masuk pikirku. Tiba-tiba kurasakan tangan Tante Anne memegang penisku dan        membimbing penisku ke vaginanya.
“Tekan di sini Chris… pelan-pelan yah… punya kamu gede banget sih”,        pelan ia membantuku memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Belum sampai        seperempat bagian yang masuk ia sudah menjerit kesakitan.
“Aahh… sakitt… oooh… pelan-pelan Chris… aduuh….” tangan kirinya        masih menggenggam penisku, menahan laju masuknya agar tidak terlalu deras.        Sementara tangan kanannya meremas-remas kain sprei, kadang memukul-mukul        tempat tidur. Aku merasakan penisku diurut-urut di dalam vaginanya. Aku        berusaha untuk memasukkan lebih dalam lagi, tapi tangan Tante Anne membuat        penisku susah untuk masuk lebih ke dalam lagi. Aku menarik tangannya dari        penisku, lalu kupegang erat-erat pinggulnya. Kemudian kudorong penisku        masuk sedikit lagi. “Aduhh… sakkkitt… ooohh… ssshh… lagi… lebih        dalam Chriss… aahh”, kembali Tante Anne mengerang dan meronta. Aku juga        merasakan kenikmatan yang luar biasa, tak sabar lagi kupegang erat        pinggulnya supaya ia berhenti meronta, lalu kudorong sekuatnya penisku ke        dalam. Kembali Tante Anne menjerit dan meronta dengan buas. Aku diam        sejenak, menunggu dia supaya agak tenang. “Goyang dong Chris”, dia sudah        bisa tersenyum sekarang. Aku menggoyang penisku keluar masuk di dalam        vaginanya. Tante Anne terus membimbingku dengan menggerakkan pinggulnya        seirama dengan goyanganku. Lama juga kami bertahan di posisi seperti itu.        Kulihat dia hanya mendesis, sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba kurasakan vaginanya menjepit penisku dengan sangat kuat. Tubuh        Tante Anne mulai menggelinjang, nafasnya mulai tak karuan, dan tangannya        meremas-remas payudaranya sendiri.
“Ohh… ooohh… Tante sudah mau keluar nih… sshh… aahh”, goyangan        pinggulnya sekarang sudah tidak beraturan. “Kamu masih lama nggak Chris?        Kita keluar bareng saja yuk…. aahh”, tak menjawab, aku mempercepat        goyanganku. “Aahh… shitt… Tante keluar Chrisss… ooohh… gile”, dia        menggelinjang dengan hebat, kurasakan cairan hangat keluar membasahi        pahaku. Aku semakin bersemangat menggenjot. Aku juga merasa bahwa aku        bakal keluar tidak lama lagi.
“Aahh… sshh…” kusemprotkan saja cairanku ke dalam vaginanya. Lalu        kucabut penisku, dan terduduk di lantai.
“Kamu hebat… sudah lama Tante nggak pernah klimaks.”
“aah… capek Tante.”
“Mandi lagi yuk… lengket-lengket nih jadinya”, ia berjalan ke kamar        mandi dan aku mengikutinya. Kami saling membersihkan tubuh di bawah        siraman shower. Setelah mandi, kami tidur-tiduran tanpa busana, berciuman,        sambil ngobrol macem-macem. VCD porno yang tadi sudah habis rupanya. Tante        Anne menggantinya dengan VCD yang lain.
“Eh… yang ini bagus loh Chris”, lalu ia menghidupkannya. Filmnya tentang        seorang gadis yang diperkosa, sedikit sadis menurutku, tapi sangat        merangsang sekali. “Tante sudah lama kepengen coba yang seperti itu        Chris… kalau Om mu sih… nggak ada seninya… taunya cuman goyang,        nembak, tidur… susah juga hahaha… kamu mau coba nggak?” dia tersenyum        melihatku.
“Hehehe… terserah…”
“Ok!” lalu ia berjalan ke lemarinya. Sewaktu ia membukanya, aku terkejut        juga melihat begitu banyak Sex Stuff seperti vibrator, tali, handcuff, dan        banyak lagi.
“Wah… banyak amat peralatannya Tante”, kataku bercanda.
“He eh… yah beginilah… soalnya Om kamu jarang pulang sih. Tante kan        butuh seks juga. Yah… terpaksa harus bermain dengan fantasi sendiri.”
“Hehehe”, aku cuma tertawa kecil. Kulihat ia mengambil tali dari lemari.
“Nih… kerjain Tante seperti yang di film itu dong Chris!” ia melemparkan        tali itu kepadaku dan berjalan ke arah tempat tidur. Tempat tidur itu        bergaya Eropa pertengahan, mempunyai pagar rendah berjeruji di sisi atas        dan bawah. Ia memegang pagar berjeruji itu. Aku mengikat tangannya di        jeruji itu, ia sekarang membungkuk membelakangiku dengan tangan terikat.        Aku berjongkok dan mulai menjilati vaginanya untuk pemanasan.
“Sssh… oouhh…” kembali kudengar erangannya. Setelah beberapa saat        vaginanya mulai basah. “Pakai vibrator Chris!” aku berjalan ke lemari dan        mengambil vibrator yang berbentuk seperti penis manusia itu. Hati-hati        kumasukkan vibrator itu ke dalam vaginanya, lalu kugeser switch ke posisi        “low”. Terdengar vibrator itu mulai berdengung halus.
“Ouuh… aahh…” kelihatannya Tante Anne sangat menikmati permainan.
Tempo permainan sangat lambat kali ini. Ia menggelinjang sedikit        mengiringi dengungan halus vibrator. Sambil sebelah tanganku memegangi        vibrator supaya tidak lepas dari vaginanya, aku memberinya tepukan di        paha, memberinya tanda agar ia membuka pahanya selebar-lebarnya. “Jilat        anus Tante Chris!” kembali ia memberi komando. Aku mulai menjilati pahanya        yang putih dan jenjang, perlahan berpindah ke anus. Bosan menjilati        anusnya, aku berdiri, memeluknya dari belakang, dan meremas payudaranya        dengan sebelah tanganku yang masih bebas. Beberapa saat kemudian ia        orgasme. Lalu ia menyuruhku memasukkan penisku ke dalam lubang anusnya.        Aku sempat terkejut mendengarnya. Menurutku pasti akan sakit sekali        penisku dijepit oleh lubang anusnya. Tetapi Tante Anne terus-terusan        meminta dengan suara yang memelas.
“Tante sudah pernah nyoba?” tanyaku ragu-ragu.
“Pernah… pakai vibrator… cobain saja deh… lebih sempit loh di        sini… Tante kepingin nyoba dimasukin 2 lubang sekaligus.”
“Ok!” aku kembali membungkuk, kujilat bagian sekitar anusnya untuk        melicinkannya. Kulihat Tante Anne merintih-rintih ketika vibrator kugoyang        agak cepat, tetapi ia tidak bisa banyak meronta karena tangannya masih        terikat kuat ke jeruji tempat tidur. Setelah merasa jalan masuk cukup        licin aku pun mengambil ancang-ancang, kugesek-gesekkan dulu kepala        penisku di sekitar anusnya.
“Yahh.. langsung saja Chriss”, Tante Anne yang sudah tidak sabar,        memundur-mundurkan pantatnya agar penisku bisa segera masuk ke dalam        lubang anusnya. Kutarik vibrator yang masih saja berdengung itu dari        belakang, supaya pantat Tante Anne makin menempel ke kepala penisku.        Akibatnya vibrator itu melesak makin dalam ke vaginanya Tante Anne.
“Aahh… ooohh… sshh…” semakin menggila saja dia. Pelan kudorong        kepala penisku ke dalam lubang anusnya.
Kepala penisku terasa sedikit pedih, aku menghentikan dorongannya sejenak.        “Oooohh… yahh… terussss… deeper Chriss….”
“Sssshh… oooohh…” aku hanya bisa mendesis menahan pedih yang bercampur        nikmat ketika penisku masuk kira-kira setengah bagian ke dalam lubang        anusnya. Menurutku masuk melalui lubang anus tidak begitu nikmat, karena        tidak ada cairan yang melicinkannya. Tapi kulihat Tante Anne bagaikan        sedang terbang sekarang. Nikmat sekali katanya. Kukira itu karena dua        lubangnya sedang terisi. Tante Anne terus saja menggoyang-goyang        pinggulnya kebelakang supaya penisku dapat masuk lebih dalam ke dalam        lubang anusnya. Aku tidak dapat menahan lagi goyangannya, kubenamkan        sekuat tanaga penisku ke dalam anusnya. Rasanya seperti penisku sedang di        massage dengan kuat di dalam. Tanpa sadar, karena menahan nikmat tanganku        menggoyang-goyangkan vibrator itu dengan kencang. Tempo permainan berubah        menjadi liar sekarang. Tangan Tante Anne mencengkeram jeruji tampat tidur        dan menggoyangnya karena nikmat yang tak terkira. Aku mencoba menggoyang        penisku di dalam anusnya. Memang sedikit pedih karena kurangnya cairan        pelicin di dalam anusnya, tapi aku tidak peduli lagi. Sesekali kugunakan        tangan kiriku untuk meremas payudaranya yang tergantung-gantung itu.        Beberapa saat kemudian aku merasa mau orgasme.
“Aahh… oouuhh… Tante sudah mau keluar belum?” tanyaku dengan nafas        memburu.
“Engggh… sssssh… iyah…”
Kurasakan Tante Anne semakin menggila menggoyang pinggulnya. Kemudian dia        tubuhnya menegang, kemudian terkulai lemas. Aku pun merasa maniku sudah di        ujung-ujungnya. Kupercepat goyangan, kuremas payudaranya dengan kasar, dan        kukocok vibratornya lebih cepat lagi. Kulihat Tante Anne menjerit-jerit,        tapi ia tak bisa berbuat banyak karena tangannya terikat dengan kuat.
“Arrrgghh… ooohh…” seiring dengan eranganku, kusemprotkan maniku ke        dalam anusnya. Kali ini kurasakan maniku keluar banyak sekali. Lalu        kucabut penisku dari dalam anusnya, dan kucabut vibrator dari vaginanya.        Sekilas kulihat vagina dan anusnya merah sekali dan sedikit membengkak.        Kubuka ikatan tangannya dan dia memeluk serta menciumiku. Lalu kami berdua        tertidur di lantai.
Pengalaman ini tak akan pernah kulupakan. Sampai sekarang kami kadang-kadang masih melakukannya. Tante Anne benar-benar seorang seks maniak yang tak bisa puas, setiap kali berhubungan selalu ada saja cara-cara baru yang ia ajarkan. Kukira ini juga mempengaruhi tingkah laku seksualku. Sampai sekarang aku senang melakukan hubungan seks dengan fantasi tinggi, seperti menggunakan tali, cambuk, handcuff, dan sebagainya. Aku menjadi senang menyiksa lawan mainku. Sepertinya puncak kenikmatanku sulit tercapai kalau aku tidak melakukannya.
← Back || Exit →
Home
Cerita Terbaru & Terpanas!
04/11/25
Online :1
Hari ini :1
Minggu ini :1
Bulan ini :1
Total :6778